;

Aturan Pajak 'Jadul' di Era Digital: Kapan Kita Berbenah?

Aturan Pajak 'Jadul' di Era Digital: Kapan Kita Berbenah?

Bayangkan Anda mencoba memperbaiki mesin mobil listrik Tesla terbaru, tetapi Anda hanya berbekal buku manual mesin uap dari abad ke-19. Terdengar konyol dan mustahil, bukan? Namun, ironisnya, itulah gambaran situasi perpajakan global saat ini.

Kita hidup di era di mana Artificial Intelligence bisa menulis puisi, aset kripto diperdagangkan 24 jam non-stop, dan seorang remaja bisa menjadi miliarder hanya dari kamar tidurnya dengan menjadi YouTuber. Ekonomi bergerak dengan kecepatan cahaya, didorong oleh data dan algoritma.

Sementara itu, aturan pajak kita seringkali terasa seperti artefak museum.

Banyak konsep dasar perpajakan internasional yang kita gunakan hari ini berakar dari prinsip yang disepakati pada tahun 1920-an oleh Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu PBB). Saat itu, ekonomi didefinisikan oleh "batu bata dan semen". Pabrik fisik, kantor cabang, dan pengiriman barang lewat kapal laut adalah ukuran mutlak aktivitas ekonomi.

Akibatnya, hukum pajak kita menjadi gagap.

Contoh paling nyata adalah definisi "Bentuk Usaha Tetap" (BUT). Dalam aturan lama (yang masih berlaku di banyak tempat), sebuah perusahaan asing baru wajib bayar pajak di Indonesia jika mereka punya kehadiran fisik—seperti gedung atau kantor—selama lebih dari 183 hari.

Di era digital, definisi ini menjadi lelucon. Perusahaan fintech asing bisa menyalurkan pinjaman miliaran rupiah ke nasabah di pelosok Jawa tanpa perlu menyewa satu meter persegi pun tanah di Indonesia. Mereka hadir secara digital, mereka meraup untung secara nyata, tetapi menurut aturan "jadul" tersebut, mereka seolah tidak ada.

Ketertinggalan regulasi ini menciptakan apa yang disebut "Gerebekan Digital" tak kasat mata. Nilai ekonomi tersedot keluar, tetapi jaring pajak kita terlalu lebar dan usang untuk menangkapnya.

Lantas, kapan kita berbenah?

Jawabannya: Sekarang atau kita akan tertinggal selamanya. Berbenah di sini bukan sekadar menambal aturan lama dengan aturan tambahan (patchwork). Kita butuh reformasi paradigma.

Pertama, kita harus beralih dari konsep "kehadiran fisik" ke "kehadiran ekonomi signifikan". Ukurannya bukan lagi luas kantor, tapi jumlah pengguna aktif, volume data yang dipanen, dan nilai kontrak digital.

Kedua, administrasi pajak kita harus berevolusi. Fiskus (aparat pajak) tidak bisa lagi bekerja dengan cara manual. Ketika wajib pajak menggunakan bot untuk trading saham, fiskus harus menggunakan big data analytic untuk mengawasi. Rencana peluncuran Core Tax System di Indonesia adalah langkah vital ke arah ini. Ini adalah upaya mengganti "mesin uap" birokrasi dengan "mesin digital" yang canggih.

Ketiga, hukum harus lebih responsif. Di dunia teknologi, satu tahun setara dengan satu dekade di dunia birokrasi. Jika penyusunan undang-undang memakan waktu bertahun-tahun, saat undang-undang itu disahkan, model bisnisnya mungkin sudah punah digantikan yang baru. Kita butuh regulasi yang bersifat prinsipil dan fleksibel, bukan yang kaku dan teknis.

Mempertahankan aturan pajak jadul di era digital sama saja dengan membiarkan negara bertarung menggunakan bambu runcing melawan tank. Kita butuh senjata baru. Kita butuh aturan main yang adil, modern, dan relevan dengan zaman. Karena jika tidak, teknologi akan terus berlari meninggalkan keadilan sosial jauh di belakang.


Tags :
#Pajak
Download Aplikasi Labirin :