Ekonomi Digital Melesat, Pajaknya 'Bocor': Menambal Jaring APBN Kita
Angka-angkanya membuat pusing saking besarnya. Ekonomi digital Indonesia diproyeksikan menembus ratusan miliar dolar dalam beberapa tahun ke depan. E-commerce, teknologi finansial (fintech), transportasi daring, hingga media digital tumbuh dengan kecepatan yang melawan gravitasi.
Namun, saat roket ekonomi digital melesat ke bulan, sistem perpajakan kita masih sibuk merakit tangga. Ada ketimpangan yang nyata: ekonomi digital booming, tapi penerimaan pajak dari sektor ini belum sebanding dengan ledakannya. Jaring yang kita gunakan untuk menangkap ikan ternyata memiliki lubang besar.
Inilah tantangan memajaki "hal-hal yang tak kasat mata" (intangibles).
Di zaman dulu, petugas pajak menilai bisnis dari aset fisiknya: seberapa luas pabriknya, seberapa banyak mesinnya. Hari ini, aset paling berharga adalah sesuatu yang tidak bisa disentuh: algoritma, perangkat lunak, merek, dan data pengguna. Sebuah perusahaan digital bisa menciptakan nilai ekonomi triliunan rupiah di Indonesia tanpa memiliki satu pun toko fisik.
Ketika jaring pajak gagal menangkap raksasa digital ini, yang muncul adalah ketidakadilan yang menyakitkan.
Bayangkan seorang pedagang ritel konvensional yang menyewa ruko di Tanah Abang. Ia harus membayar sewa, listrik, gaji karyawan, dan setumpuk pajak daerah serta pusat. Di sebelahnya (atau lebih tepatnya, di layar ponsel pelanggannya), raksasa e-commerce asing menjual barang yang sama tanpa beban operasional fisik dan seringkali dengan beban pajak yang lebih ringan karena berlindung di balik celah lintas negara.
Ini bukanlah persaingan yang sehat (level playing field). Jika dibiarkan, ekonomi konvensional akan mati, bukan semata karena kalah inovasi, tapi karena kalah dalam struktur biaya pajak yang tidak adil.
"Menambal jaring" ini menuntut inovasi regulasi. Pemerintah Indonesia sudah memulai langkah tepat dengan memungut PPN atas produk digital (seperti langganan Netflix atau Spotify). Ini jahitan pertama yang bagus.
Tapi kita harus melangkah lebih jauh. Kita harus mengawal konsensus global (Pilar Satu OECD) yang akan memberikan hak bagi Indonesia untuk memajaki keuntungan korporasi digital raksasa, bukan hanya konsumsinya. Kita harus memastikan bahwa nilai ekonomi yang diciptakan dari jempol dan mata pengguna Indonesia, berbuah menjadi penerimaan pajak bagi negara Indonesia.
Kita tidak bisa dan tidak boleh menghentikan gelombang digital. Ia membawa efisiensi dan peluang. Tapi tugas negara adalah memastikan gelombang ini mengangkat semua kapal, bukan hanya kapal pesiar para miliarder teknologi. Sistem pajak yang adil adalah jangkar yang memastikan kemajuan digital dinikmati oleh seluruh rakyat.
Tags :
#PajakPostingan Terkait
Artikel Populer
-
Tekan Inflasi, Pasar Murah
04 Jan 2025 -
Tapera Beri Angin Segar Emiten Perbankan
05 Jun 2024 -
Ledakan Smelter Berulang, Optimalkan Pengawasan
28 Dec 2023 -
KISAH SEGITIGA ANTARA VIETNAM, CHINA, DAN AS
28 Dec 2023