;

Permainan 'Kucing-Tikus' Pajak Internasional: Indonesia Bisa Apa?

Permainan 'Kucing-Tikus' Pajak Internasional: Indonesia Bisa Apa?

Ada dinamika klasik dalam dunia regulasi yang mirip kartun "Tom and Jerry". Regulator (pemerintah) adalah kucing yang berusaha menangkap tikus. Wajib pajak—khususnya para perencana pajak agresif—adalah tikus yang selalu mencari lubang kecil di dinding untuk meloloskan diri.

Dalam konteks pajak internasional hari ini, si "tikus" seolah sedang memakai steroid.

Didukung oleh transaksi digital berkecepatan tinggi, aset kripto, dan instrumen keuangan derivatif yang rumit, perencana pajak agresif bisa memindahkan miliaran dolar lintas negara dalam hitungan milidetik. Sementara itu, si "kucing" (otoritas pajak) seringkali masih terbelenggu prosedur birokrasi, undang-undang yang kaku, dan data yang baru diterima berbulan-bulan kemudian.

Ketimpangan ini nyata. Para "tikus" menyewa lulusan terbaik dari universitas top dunia, membayar konsultan mahal untuk mencari celah sekecil apa pun dalam undang-undang perpajakan. Mereka merancang struktur bisnis yang secara teknis mematuhi bunyi aturan (the letter of the law), tapi jelas-jelas melanggar tujuan aturan tersebut (the spirit of the law).

Lantas, Indonesia bisa apa dalam permainan yang tidak seimbang ini? Kita tidak bisa hanya mengandalkan kuku yang lebih tajam; kita butuh kucing yang lebih cerdas.

Pertama, kita butuh transformasi teknologi. Langkah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membangun Core Tax Administration System (Coretax) adalah fondasi mutlak. Kita butuh sistem yang mampu melakukan pencocokan data (data matching) secara real-time. Kita butuh Kecerdasan Buatan (AI) yang bisa mendeteksi anomali dalam dokumen transfer pricing lebih cepat daripada mata manusia.

Kedua, kita harus memegang prinsip Substance over Form (Substansi mengungguli Bentuk). Hukum kita harus memberi wewenang penuh pada auditor untuk mengabaikan dokumen formal jika tidak sesuai dengan realitas ekonomi. Jika sebuah perusahaan di negara suaka pajak tidak punya karyawan dan kantor, tapi menerima biaya jasa miliaran rupiah, hukum harus membolehkan negara menganggap transaksi itu tidak ada, meskipun di atas kertas kontraknya "sah".

Ketiga, dan terpenting, adalah kerjasama internasional. Tikus bisa lolos karena ia bisa lari ke seberang perbatasan di mana kucing tidak bisa mengejar. Tapi jika "kucing-kucing" di seluruh dunia mulai saling bicara—bertukar data secara otomatis, melakukan audit bersama (joint audit)—maka tikus akan kehabisan tempat bersembunyi.

Permainan kucing-tikus ini mungkin tidak akan pernah benar-benar berakhir. Selama ada pajak, akan ada usaha untuk menghindarinya. Tapi Indonesia punya kekuatan untuk mengubah peluangnya. Kita harus memastikan bahwa dalam permainan ini, Negara selalu menang—bukan demi kemenangan itu sendiri, melainkan demi kesejahteraan rakyat yang uangnya dipertaruhkan.


Tags :
#Pajak
Download Aplikasi Labirin :